Penguatan Komitmen : Eliminasi Malaria di Kawasan Bukit Menoreh

Banjarnegara 10/12, Masalah malaria bukan hanya urusan Kementerian Kesehatan saja namun juga membutuhkan dukungan dan kerja sama dari  berbagai lintas program dan lintas sektor. Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Dr.dr Vivi Setiyawati dalam arahan dan sambutan pembukaan pertemuan Lintas Sektor Balai Litbangkes Banjarnegara Tahun 2018 (5/12). “Mari kita berdiskusi untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari jalan keluar bersama dari permasalahan malaria ini dan harapan pada  pertemuan ini dapat menghasilkan kesepakatan dan komitmen untuk menanggulangi permasalahan malaria di wilayah bukit menoreh”.

Yogyakarta, 5-7 Desember 2018 foto bersama penguatan komitmen lintas program dan lintas sektor

Pertemuan ini diadakan dalam rangka memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan Balai Litbangkes Banjarnegara pada tahun 2018 dengan judul “Pengembangan Peran Lintas Program, Lintas Sektor, dan Masyarakat dalam Mendukung Eliminasi Malaria di Wilayah Lintas Batas Menoreh” yang dilakukan 3 Kabupaten yaitu Purworejo, Kulon Progo dan Magelang.

Kegiatan penelitian tersebut  dilaksanakan cukup komperhensif meliputi kegiatan MBS, survey nyamuk, survey PSP dan lain-lain, yang dilakukan secara pra dan pasca intervensi, hasil dari penelitian tersebut disampaikan oleh Bina Ikawati SKM,  M.Kes dengan beberapa hasil yang dapat disimpulkan bahwa 57,14% habitat masih ditemukan jentik setelah sebulan setelah pemberian temephos pada musim kemarau di habitat perkembangbiakan Anopheles wilayah menoreh.

Habitat perkembangbiakan nyamuk utama pada lokasi survei di ketiga kabupaten tersebut adalah sepanjang sungai yang mulai mengering, mata air, jika ingin MBS diatas 80% dapat terpenuhi maka diperlukan strategi/model serta sosialiasi kepada masyarakat, Sosialisasi tentang malaria dengan narasumber selain kader dan JMD diperlukan berkala pada ketiga kabupaten untuk membangkitkan masyarakat agar tidak lengah terhadap malaria, selain itu gerakan kebersihan lingkungan yang berfokus di habitat Anopheles juga diperlukan.

Direktur P2PTVZ, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid , sebagai narasumber pertama menyampaikan berdasarkan data tahun 2017 baru 52% kab/kota yang sudah bebas malaria, namun sangat susah mendorong kab/kota yang endemisitas rendah untuk menuju bebas malaria, hal ini mungkin dipengaruhi oleh surveilans migrasi yang kurang berjalan baik. Untuk itu diharapkan kerjasama dari beberapa sektor untuk mengendalikan eliminasi penyakit malaria.

Untuk Jawa Tengah sebegian besar sudah masuk dalam tahap eliminasi dan pemeliharaan, untuk DIY Kab Kulon Progo masih dalam tahap menuju eliminasi malaria. Harapan tahun 2020 tidak ada lagi kab/kota endemis tinggi, untuk itu perlu strategi percepatan penurunan endemis tinggi karena saat ini masih ada 39 kab/kota yang masuk dalam endemisitas tinggi malaria. Bupati dan Gubernur harus mempunyai harapan dan komiten yang sama untuk mencapai eliminasi malaria. Mari kita menyusun strategi bersama dengan menyusun time line yang dapat dilaksanakan sesuai jadwal sebagai berikut 2019 ; kasus indigenous terakhir, 2020-2022 ; tidak ada kasus indigenous, 2023 ; sertifikasi WHO. Harapannya pada tahun 2027 semua provinsi sudah mencapai eliminasi

Tantangan pencapaian eliminasi malaria pada tahun 2022 dikawasan menoreh masih optimis bisa tercapai, karena di dua kabupaten (Purworejo dan Kulonprogo) dua bulan terakhir pada tahun 2018 sudah tidak ditemukan adanya kasus, sedangkan untuk kabupaten magelang masih ditemukan kasus namun cenderung menurun, itulah yang disampaikan oleh Dr.dr. Irene, M. Biomed dalam paparannya yang menggambarkan kondisi terkini tentang eliminasi malaria di bukit menoreh. Beliau juga mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu diperhatikan untuk Kabupaten Purworejo, karena masih banyak ditemukan kasus indegeneus dan semakin bertambahnya desa focus aktif.

Kabupaten Kulon Progo, karena letak daerah focus aktifnya berada di area perbatasan dengan Kabupaten endemis lainnya. Kabupaten Magelang perlu mendapatkan advokasi terkait anggaran untuk
pemeliharaan eliminasi yang sudah dicapai pada tahun 2014, sehingga tujuan untuk mencapai eliminasi malaria di Kawasan Bukit Menoreh Tahun 2022 dapat tercapai.

Jika kerjasama dengan berbagai lintas sektor sudah dilakukan dan sudah menemukan kesepakatan terkait kebijakan yang akan di terapkan maka kebijakan tersebut perlu di advokasikan untuk dapat diterapkan, untuk itu DR. Trihono menyampaikan bagaimana pengalaman dan dinamika dalam melakukan perubahan kebijakan.

Tidak mudah untuk membuat suatu kebijakan baru dapat diterima, tips untuk mempermudah advokasi adalah dengan menampilkan data dari suatu masalah kesehatan yang akan diangkat dalam bentuk tampilan info grafis yang lebih menarik dan mengena sehingga pemegang kebijakan/program dapat lebih memahami. Dalam proses advokasi tidak bisa menggunakan data tunggal, misal hasil vektora dikuatkan oleh data ina respond. Butuh lebih dari satu pihak yang menggaungkan permasalahan tersebut secara bersama-sama.

Gambaran umum Kabupaten Purworejo, secara umum kondisi geografis Purworejo terbagi menjadi 2 yaitu daerah datar dan persawahan di bagian selatan dan daerah perbukitan dengan banyak sungai-sungai kecil di bagian utara. Titik sentral malaria di Purworejo ada di Kali Gesing, Dadirejo, Banyuasin, Bener, Gebang dan Kemiri.

Peraturan Desa tentang survailans migrasi pada tahun 2018 ada 14 perdes dengan kondisi 4 perdes aktif. Permasalahan atau hambatan dalam eliminasi malaria di kabupaten purworejo antara lain Penggunaan data vektor dalam pengambilan tindak lanjut masih minim; Tidak adanya kendaraan roda 4 sebagai kendaraan operasional; Penggunaan dana desa untuk program malaria belum ada payung hukumnya. Demikianlah yang disampaikan oleh Dr. Darus sebagai Kabid P2P Dinkes Kab Purworejo dalam paparannya terkait “Situasi Malaria di Kabupaten Purworejo dan Tantangan Menuju Eliminasi Malaria”

Sedangkan untuk paparan terkait Situasi Malaria di Kabupaten Magelang dan Tantangan Memelihara Sertifikat Eliminasi Malaria yang Telah Diperoleh disampaikan oleh Dwi Susetyo, SKM, M.Kes sebagai Kabid P2P Dinkes Kabupaten Magelang, dalam paparannya beliau menyampaikan bahwa pada tahun 2014 Kabupaten magelang sudah mendapatkan sertifikat bebas malaria, namun ketika itu membuat semua sektor merasa aman dan lengah, dan karena kelengahan tersebut terjadi lonjakan kasus sejumlah 161 kasus indigenous di tahun 2015.

Setelah itu semua pihak baru tersadar dan berkerja sama untuk menurunkan kasus tersebut dan selama kurun waktu 3 tahun dilakukanlah beberapa kegiatan untuk mengatasi kasus malarian tersebut diantaranya dengan melakukan pelatihan JMD dan mikroskopis malaria, MBS, Survey entomologi, pembagian kelambu dan Keberadaan JMD adalah ujung tombak untuk menyelesaikan masalah malaria sangat penting dan di tahun 2018 sudah tidak ada kasus indigenous.

Drg. Baning selaku Kabid P2P Dinkes Kab Kulonprogo, Sejak tahun 2015 sudah tidak ditemukan falcifarum gamet, sedangkan pada tahun 2018 masih ada 28 kasus. “Pengalaman kami jangan hanya fokus pada daerah endemis  namun daerah lain juga harus tetap diperhatikan” . Untuk Kulon progo tidak ada ditindak lanjuti dengan Perdes, karena sudah ada Perbup mengenai malaria, hanya tinggal bagaimana mensosialisasikan Perbub  tersebut, itulah Situasi Malaria di Kabupaten Kulonprogo.

Tentunya dari pertemuan ini diharapkan bisa mengidentifikasi permasalahan dan mencari jalan keluar bersama dari permasalahan malaria sehingga dapat menghasilkan kesepakatan dan komitmen untuk menanggulangi permasalahan malaria di wilayah bukit menoreh”. Yang dapat diadvokasikan menjadi kebijakan yang dapat diterapkan di wilayah bukit menoreh.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *